Minggu, 17 April 2011

Aksi perompakan kapal MV Sinar Kudus di Somalia

JAKARTA, KOMPAS.com

Aksi perompakan yang marak di lepas pantai Somalia telah "membajak" perdagangan dan perekonomian dunia sedikitnya 12 miliar dollar AS atau sekitar Rp 103 triliun per tahun. Sebuah beban ekonomi yang cukup besar yang akhirnya harus ditanggung konsumen.

Beban ekonomi yang ditimbulkan para perompak ini diungkapkan kalangan industri perkapalan dan organisasi maritim, sebagaimana ditulis harian The Business Times, pekan lalu. Mereka meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pemerintah sejumlah negara untuk mengakhiri aksi perompakan ini.
Robert Lorenz-Meyer, Presiden Bimco, salah satu asosiasi perkapalan besar dunia, menegaskan, aksi perompakan di lepas pantai Somalia itu telah menimbulkan beban pada perekonomian dunia. "Sekitar 2.000 perompak Somalia telah membajak ekonomi dunia," ujarnya.
Ia mengatakan, gangguan pada alur perdagangan laut yang disebabkan perompak di Somalia itu telah menimbulkan beban biaya 12 miliar dollar AS. Ada sekitar 30.000 kapal dagang yang melintasi kawasan Laut Arab di seputar Somalia setiap pekan.


The Heritage Foundation menyebutkan, kerugian akibat aksi perompakan di perairan lepas pantai Somalia telah menimbulkan kerugian materi sampai 16 miliar dollar AS, sekitar Rp 137 triliun, per tahun.
Biro Maritim Internasional melaporkan, sepanjang tahun 2010 terjadi aksi perompakan atas 53 kapal dagang dan penyerangan terhadap lebih dari 392 kapal lain. Perompak juga menyandera 1.181 pelaut dari banyak negara. Ini jumlah penculikan terbesar di laut. Sedikitnya delapan pelaut tewas. Sebagian besar dari aksi ini terjadi di lepas pantai Somalia.

Aksi meningkat
Sepanjang 2011 sudah terjadi 97 serangan perompak. Angka ini naik tiga kali lipat dibandingkan dengan periode yang sama pada 2010. Kapal Indonesia, MV Sinar Kudus, dengan 20 awak, juga menjadi salah satu korban perompakan di lepas pantai Somalia. Perompak Somalia membajak kapal dan menyekap awaknya sejak 16 Maret lalu.
"Perlu ada niat politik dari PBB untuk mengadopsi langkah-langkah keras dan efektif untuk melindungi awak, muatan, dan kapal dari serangan perompak Somalia yang kian meningkat," ujar kalangan asosiasi perkapalan, seperti dikutip The Business Times.
PBB sejak 2008 sudah mengeluarkan resolusi berkaitan dengan aksi perompak di Somalia. Resolusi ditindaklanjuti dengan operasi militer gabungan yang digelar Uni Eropa sejak Desember 2008, operasi laut gabungan lain per Januari 2009, dan aksi gabungan oleh NATO pada Agustus 2009.
Aksi ini, antara lain, melibatkan puluhan kapal perang dari sekitar 28 negara untuk mengawal kapal dagang dan berpatroli di kawasan perairan lepas pantai Somalia. Namun, belakangan aksi perompakan terus meningkat.
Tidak adanya tindakan keras dan efektif atas para perompak membuat masa depan industri perkapalan semakin berat. SS Teo, Presiden Asosiasi Perkapalan Singapura, mengemukakan, aksi perompakan ini menimbulkan keprihatinan besar terhadap dunia perkapalan.
Teo yang juga Manajer Pelaksana Pacific International Lines, salah satu perusahaan perkapalan terkemuka Singapura, mengatakan, aksi perompakan ini membuat anak muda enggan bergabung dalam dunia perkapalan. Padahal, industri perkapalan ini memainkan peran sentral dalam perdagangan dunia.

20 persen berhasil
Sementara itu, pengamat industri maritim Saut Gurning menilai, keputusan untuk membebaskan awak MV Sinar Kudus dengan cara negosiasi adalah keputusan terbaik. Opsi militer sering kali tak menemui hasil dalam kasus perompakan.
"Hanya 20 persen operasi militer yang berhasil mencapai kesuksesan. Sisanya biasanya sandera dan pasukan militer meninggal hingga kapal dikaramkan," kata Saut, Minggu di Jakarta. Saut mengatakan, survei internasional itu membuktikan bahwa operasi militer bukan pilihan terbaik.
Pemerintah mengakui sudah mengirim dua kapal perang jenis fregat dan satu helikopter ke perairan Somalia untuk operasi pembebasan awak MV Sinar Kudus. Namun, pemerintah membatalkan rencana ini karena terlalu berisiko dan memilih membayar tebusan Rp 22,6 miliar.
Pembayaran tembusan sebelumnya juga dilakukan oleh Arab Saudi, Jerman, Yunani, Singapura, dan Korea Selatan. Sepanjang tahun 2010, tebusan yang dibayarkan sekitar 238 juta dollar AS, sekitar Rp 2,04 triliun.
Juru Bicara Kementerian Perhubungan Bambang S Ervan mengatakan, pemerintah memikirkan opsi apa pun yang terbaik bagi warga negara Indonesia yang disandera.
"Untuk ke depan, kami telah menerbitkan maklumat pelayaran untuk mewaspadai Laut Merah sisi selatan, termasuk dengan koordinatnya," ujarnya. (PPG/RYO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar